Forum Gay Katolik Indonesia

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Yesus berkata: Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.


    Don't Give Up Chapter VI

    ambrochius
    ambrochius
    Star of Share
    Star of Share


    Jumlah posting : 33
    Join date : 21.01.09
    Lokasi : Bandung, West Java

    Don't Give Up Chapter VI Empty Don't Give Up Chapter VI

    Post  ambrochius Fri Jan 23, 2009 1:20 am

    Chapter VI Nightmare before Christmas


    "Hallo Kuh apa kabar?” suara yang aku kenal betul luar dalamnya. Aku sedang berdiskusi dengan Ibu Maria di area Resto ketika Albert datang. Kukuh adalah panggilan albert kepada Ibu Maria sebagai adik ibunya. “Hei Nyo, baik! Bagaimana Papi Mami kamu?” Sinyo, yah Ibu Maria biasa memanggil Albert dengan sapaan sinyo, gaya panggilan khas orang-orang keturunan kepada anak-anak di daerah jawa timur. Tuan Tan almarhum memang asal Surabaya. “Baik Kuh, mana nih oleh-oleh Amrik?” Sam dan Lisa gak ikut pulang?” Albert menanyakan dua sepupunya yang kuliah di Amerika dan jarang pulang itu. “ Jangan tanya deh Bert”, Ibu Maria menghela nafas panjang, “kamu tau kan sesibuk apa mereka disana”, seolah Ibu Maria mau menyalahkan kegiatan anak-anaknya sebagai penyebab utama anak-anaknya tidak pulang. Walau musim liburan panjang, Samuel biasanya magang di sebuah biro perjalanan di New York sedangkan adiknya Lisa sibuk dengan acara Christmas Charity pada sebuah mudika di paroki setempat di kota yang sama. “Mami kamu ke gereja jam berapa?” Ibu Lisa mengalihkan pembicaraan. Ada beberapa kali Misa memang diadakan pada malam natal di hampir seluruh gereja Katholik. “Loh bukanya Kukuh tau Mami ke Betlehem sama teman-teman Legionya?” Albert seolah heran kenapa kakak beradik ini tidak berkomunikasi walau berada di kota yang sama. Ibu Maria memang kurang dekat dengan adiknya Ibu Martha, sesekali mereka hanya berkomunikasi lewat telepon. Itupun kalau ada keperluan keluarga yang mendesak. Selebihnya Ibu Maria sibuk dengan businessnya dan Ibu Martha sibuk dengan kegiatan gerejanya. Di Parokinya Ibu Martha memang celebritis kalau mau dibilang begitu. Ketua Bendahara Dewan Paroki, Ketua Presidium Legio Maria, Wakil Ketua Wanita Katholik Cabang, dan segudang jabatan penting parokial yang panjang berderet, belum termasuk anggota paduan suara paroki dan kelompok Doa Sadhana. Sepertinya kalau paroki mengijinkan maka Ibu Martha mungkin akan dibuatkan kamar tersendiri di dekat kamar Pastor karena banyak waktu yang hampir seluruhnya dihabiskan di gereja. “Enggak tuh Bert, mami kamu gak ngomong sama Kukuh,” Ibu Maria mengekspresikan keheranan yang aku tahu dibuat-buat. “Kata mami dia mau bernatalan di Betlehem sama teman-teman Legionya”, Albert menjelaskan, “Terus ke Merjugorje sekalian ziarah ke Gua Maria”, kali ini aku yang seolah tidak peduli sambil memperhatikan kesibukan para karyawan yang luar biasa sibuk dengan bertambahnya jumlah tamu yang datang untuk bersantap sore bersama keluarga resto ini. Kulihat Rini Manager Resto yang mundar-mandir dengan walky talky nya mengatur kelancaran operasional resto, beruntung aku memiliki Manager resto seperti dia, cantik, cerdas, cekatan, dan mau kerja keras. “Oh iya Kuh kata papi surat pembebasan tanah yang Kukuh minta sama papi waktu itu sudah bisa diambil, paling suruh Pak Mul yang ambil” Albert seolah ingat ada pesan penting dari Papinya yang aku sendiri heran kenapa harus Albert yang menyampaikan bukan papinya sendiri yang menghubungi Ibu Maria, malah suruh supir pribadi Ibu Maria yang mengambil. “Oh iya makasih, bagaimana keadaan Papi? Asam uratnya masih?” Kali ini aku melihat kecemasan yang tulus di wajah ibu Maria. “Yah begitulah Kuh, makin bandel kalau dinasehati,” wajah Albert merengut. “Paling sekarang sedang main mahyong sama teman-temannya di Gardu Jati”. Berbeda dengan Istrinya Ibu Martha, Pak Salim bahkan tidak pernah menginjakkan kakinya di lantai gereja, baginya gereja adalah rumah vampire yang harus dijauhi. Kepuasan Spiritualnya didapat dari bermain mahyong dengan para taipan kota Bandung di daerah Gardu Jati yang memang terkenal sebagi China Town nya kota Bandung. Daerah Prostitusi Saritem yang sekarang telah merubah image sebagai kampung santri dengan berdirinya Pondok Pesantren. Selebihnya adalah toko-toko, kelenteng, vihara serta berjajar restaurant Chinese Food dengan sajian khas nasi campur yang tentu saja haram untuk dikunjungi oleh kalangan tertentu. “Kamu tolong jagain papi kamu yah Nyo”, suara Ibu Maria terdengar sangat keibuan, ditelingaku berdesir rasa kedamaian yang kurindukan dari sosok seorang ibu. Sesekali aku membantu memberikan instruksi kepada karyawan resto di tempat aku berdiri. Aku tahu aku bisa mengandalkan Rini. “Kamu anak tunggal, Cuma kamu harapan papi mami kamu untuk meneruskan usaha mereka”, Ibu Maria seolah ingin melingkungi Albert dengan aura kasih yang selama ini jarang ia dapatkan dari papi maminya meskipun ia anak tunggal.
    “Ayo berangkat Mbro, nanti telat!” Suara Albert seakan lebih seperti perintah ketimbang ajakan. “ Oh jadi Ambro bergabung di Paduan Suaranya Albert toh?” Ibu Maria memberikan senyum tulus kepadaku, aku mengangguk kecil tanpa kata. Ibu Maria tahu ponakannya adalah dirigen Paduan Suara yang dibentuk oleh Albert sendiri, kebanyakan beranggotakan teman-teman eks PSM Universitas Parahyangan dan Maranatha. Albert memang jebolan Unpar dengan IP 3,8 jurusan MIPA, entah apa isi otak manusia ini, aku sendiri heran, kadang dia terlihat pintar tapi kelakuannya lebih mirip balita. “Kukuh ikut kami saja, biar nanti Pak Mul suruh jemput sepulang Misa, Ambro biar saya yang antar pulang” cepat-cepat Albert mengalihkan pembicaraan. Bagiku tidak masalah seandainya Ibu Maria ingin tahu lebih jauh sejak kapan dan bagaimana aku ikut bergabung dalam Paduan Suara St. Peter yang dibentuknya itu, toh Ibu Maria juga tahu kalau aku sering bertukar pikiran dengan ponakannya tentang berbagai hal, tentu saja hubungan kami tetap menjadi rahasia kami berdua. “Maaf Bert aku masih ada kerjaan, nanti aku nyusul, aku janji sebelum Misa dimulai aku sudah ada di sana”, jawabku sopan kepada Albert di depan Ibu Maria. Seolah meminta pembelaan dan mengajak bibinya untuk menyeretku keluar Albert memandang Ibu Maria penuh harap, dia tahu bibinya akan membantunya. “Memang Misa yang jam berapa Bert?” Ibu Maria seakan berdiri di tengah mendamaikan kami berdua, “Jam setengah delapan Kuh, tapi kami akan perform Christmas Carrol sebelum Misa dimulai, lagi pula kami harus latihan dan pemanasan dulu sebelumnya.” Albert menjelaskan dengan wajah yang sama sekali tak dipalingkannya kepadaku. Ibu Maria memang bukan anggota paduan suara manapun, tapi ia mahfum soal pemanasan dan latihan sebelum bernyanyi. “Saya bisa belakangan bu, sebelum Misa dimulai saya sudah akan ada disana”, aku mencoba untuk meminta keberpihakkan Ibu Maria dengan memalingkan wajahku pada kesibukan resto yang masih berlangsung. “ Yah sudah Albert kamu duluan, lagi pula Kukuh kan belum siap-siap, sekarang masih jam empat sedangkan Misa jam setengah delapan” dengan gaya bicara yang khas keibuannya Ibu Maria membimbing Albert dengan berjalan bersisian kerahnya menuju pintu resto.” Ambro nanti biar sama Kukuh, lagi pula kan Pak Mul akan diminta mengambil dokumen dari papi kamu”, aku mengikuti bibi dan keponakan ini dari belakang, berharap Ibu Maria bisa menenangkan Albert. “Biar nanti Ambro yang bawa mobil Kukuh, lagi pula Ambro masih diperlukan disini”, Ibu Maria seakan lebih kenal tabiat ponakannya ini dari pada Ibu Martha, ibunya Albert sendiri, mencoba untuk menjelaskan keadaannya seolah dengan gaya bicara seorang ibu kepada anak berumur lima tahun. “Yah sudah!”, Albert berlalu tanpa berkata sepatah kata pun kepadaku bergegas menuju mobilnya, jangankan kepadaku, kepada Ibu Maria bibinyapun dia terus meninggalkan jejeran langkahnya tanpa pamit ataupun basa basi perpisahan. Deru mobil menyadarkanku, bahwa Ibu Maria masih mematung melihat kepulan debu yang ditinggalkan mobil Albert dari area resto. Ibu Maria berbalik, melihat kearahku, tersenyum dengan wibawanya, penuh makna. Mungkin dia hendak mengatakan agar aku bisa paham dengan kelakuan ponakannya itu. Seolah ada bahasa yang tidak terkatakan diantara kami berdua, akupun mengangguk membalas senyuman Ibu Maria dan selanjutnya menenggelamkan diriku dalam kesibukan resto yang semakin ramai.


    TO BE CONTINUE

      Waktu sekarang Fri Apr 26, 2024 9:18 am